Komisi III DPRD Kabupaten Cirebon Minta PT CEPR Tuntaskan Sengketa Lahan Warga dalam 14 Hari

Selasa, 12 Nov 2024 08:01
Ketua Komisi III DPRD Kabupaten Cirebon, Anton Maulana (tengah) saat Audiensi dengan PT CEPR, PLN, BPN serta warga Kanci, Senin (11/11). Ist

RINGKASNEWS.ID - Komisi III DPRD Kabupaten Cirebon menggelar audiensi antara PT Cirebon Energi Prasarana (CEPR), PLN, dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) dengan warga Desa Kanci untuk menyelesaikan sengketa lahan yang telah lama terjadi. 

Pertemuan ini merupakan tindak lanjut dari surat pengaduan yang diajukan seorang warga, Gilang Ramadhan, pada 28 Oktober 2024. 

Ketua Komisi III DPRD Kabupaten Cirebon, Anton Maulana, menyatakan audiensi tersebut bertujuan untuk mencari solusi terkait aduan warga yang merasa lahannya digunakan tanpa izin oleh PT CEPR untuk pembangunan Tower 5 SUTET 500 kV yang menghubungkan PLTU CEPR dengan Gardu Induk PLN di Mandirancan, Kuningan. 

"Kami berusaha mencari jalan tengah agar hak Gilang sebagai pemilik lahan tetap terjaga, namun PLN tetap bisa berjalan untuk kebutuhan masyarakat juga,” ujar Anton pada Senin (11/11/2024) usai audiensi. 

Komisi III memberikan waktu kepada PT CEPR selama 14 hari untuk menyelesaikan masalah tersebut. Anton juga mengkritisi keberadaan PLTU di Cirebon, yang meskipun besar, masih belum mampu menjamin ketersediaan listrik secara optimal di wilayah tersebut. 

“Saat ini, wilayah Kabupaten Cirebon masih sering mengalami pemadaman listrik. Padahal, ada CSR dari PLTU dan CEPR yang bisa membantu menerangi wilayah ini, agar masyarakat Cirebon tidak merasakan kegelapan,” tambah Anton. 

Di sisi lain, Gilang Ramadhan mengungkapkan bahwa lahan seluas 84 meter persegi miliknya telah digunakan untuk pembangunan tower tersebut.

Ia menyampaikan kekecewaannya karena laporan-laporan yang sudah diajukannya, baik ke Ombudsman maupun PLN, hingga kini belum menunjukkan hasil yang memuaskan. 

“Saya hanya ingin memperjuangkan hak saya atas tanah di Desa Kanci yang digunakan dalam pembangunan Tower 5 oleh CEPR. Hingga kini, belum ada solusi dari pihak perusahaan,” ujar Gilang. 

Ia berharap kejadian ini menjadi peringatan bagi perusahaan besar agar lebih memperhatikan hak-hak masyarakat lokal dalam proyek-proyek pembangunan mereka. 

"Saya khawatir kasus ini bukan hanya menimpa saya. Banyak warga lain yang mungkin mengalami hal serupa, tetapi enggan bersuara," tuturnya.

Berita Terkini